Fenomena Emak-Emak Facebook Pro di Kampung: Antara Humor, Ekonomi, dan Konflik Sosial

Bagi masyarakat perkampungan, Facebook bukan hanya media sosial. Ia sudah berubah jadi papan pengumuman raksasa, tempat jualan, tempat curhat, bahkan kadang jadi ruang sidang terbuka tanpa hakim. Isinya, ada satu kelompok yang mendominasi linimasa: emak-emak pengguna FB Pro.

Mereka ini luar biasa. Kalau ada kejadian di kampung, jangan harap portal berita jadi sumber pertama. Belum juga korban jatuh dari motor sadar, foto buram dari HP jadul sudah muncul dengan caption dramatis: “Hati-hati gaes, jalan licin.” Dalam teori komunikasi, ini bisa disebut citizen journalism.


Facebook juga menjelma jadi buku harian publik. Kalau dulu curhat cukup di teras rumah, sekarang seluruh jagat maya harus ikut tahu. Statusnya macam-macam: “Capek hati ini, tapi tetap kuat demi anak-anak.” atau “Sabar, meski dihina aku tetap tersenyum.” Ada juga yang pseudo-bijak alias sok filosofis: “Tersenyum bukan berarti bahagia, menangis belum tentu karena sedih.”

Itu sebenarnya umpatan di dapur, bisikan di hati, atau hasil nyontek quote acak dari Google, tapi naik level jadi konsumsi ratusan orang di beranda, termasuk tukang sayur dan kepala dusun. Privasi? Di kampung, privasi hanyalah mitos yang kalah oleh kuota murah.

Tidak berhenti di situ, Facebook pun jadi pasar. Kalau di kota orang sibuk ngomongin algoritma dan strategi branding, di kampung emak-emak cukup tulis: “Ready sanggar ubi, inbox ya.” Ajaibnya, efek sosialnya jauh lebih nyata: tetangga bisa merasa bersalah kalau tidak beli, apalagi besok pasti ketemu di pasar atau arisan. Rasanya lebih menekan daripada tagihan cicilan kulkas datang saat gaji belum cair. Mereka tidak perlu teori digital marketing, cukup modal jaringan pertemanan dan rasa segan sosial, semua barang pasti laku.

Ketika masuk musim politik, suasana makin panas. Emak-emak bisa berubah jadi tim sukses paling militan. Berita tanpa sumber jelas langsung dibagikan dengan penuh keyakinan, ditutup dengan kalimat pamungkas: “yang tidak pilih calonku, matanya tak melihat, telinganya tak mendengar.”

Apalagi kalau sudah menyangkut bantuan sosial—waduh, lebih sensitif daripada debat di ILC. Satu dus mie instan yang tidak kebagian bisa melahirkan status panjang penuh sindiran: “Ada yang bilang adil, tapi nyatanya pilih kasih. Semoga yang merasa, sadar diri.” Begitu status muncul, komentar berderet bak rapat umum, masing-masing pihak merasa korban ketidakadilan distribusi. Di titik ini, politik bukan lagi sekadar soal visi-misi, melainkan soal siapa yang kebagian sembako dan siapa yang hanya kebagian cerita.

Lalu ada perang dingin digital. Kalau dulu perselisihan antarwarga selesai di pos ronda, sekarang meledak di kolom komentar. Status samar-samar seperti “Jangan sok suci, hidupmu aja masih numpang” bisa bikin seluruh RT ikut panas. Semua tahu siapa yang dimaksud, tapi pura-pura tidak tahu demi menjaga drama tetap seru. Konflik seperti ini oleh sosiolog disebut conflict in digital society, tapi di kampung lebih pas disebut drama status.


Fenomena lain yang tak kalah unik adalah banjir video tanpa edukasi. Dari video masak dengan kamera goyang-goyang, sampai sekadar rekaman cuci piring. Belum lagi konten pakai template slow-motion dengan bunga-bunga AI beterbangan di layar lengkap dengan watermark. Dan tentu, ada pula konten yang benar-benar tidak jelas. Foto bunga mawar acak dari Google dengan caption “hmmm…” misalnya. Tidak ada makna, tidak ada konteks, tapi selalu ada yang komentar: “Semangat ya bu.”, “Aamiin.” Inilah yang disebut phatic communication—komunikasi bukan untuk isi pesan, melainkan sekadar menjaga hubungan sosial. Bahkan kadang pemilik akun sendiri tidak tahu maksudnya apa, tapi biar rame saja.

Di titik ini, sebenarnya tidak ada yang salah dengan Facebook Pro. Dalam teori ekonomi digital, setiap ruang daring adalah pasar potensial. Sah-sah saja kalau emak-emak ingin menghasilkan dollar dari konten mereka. Justru itu langkah maju: mengubah kebiasaan sehari-hari jadi peluang ekonomi. Masalah muncul ketika ruang publik digital yang idealnya jadi arena diskusi rasional—meminjam istilah Habermas: public sphere—berubah jadi gelanggang sindir-menyindir, perang komentar, dan drama status. Energi habis untuk debat kusir, peluang ekonomi malah hilang begitu saja.

Padahal, ada banyak konten sederhana yang bisa dibuat lebih bernilai dan tetap otentik. Misalnya resep obat tradisional di kampung atau cara bikin asam dari mangga, bisa juga tips hemat listrik ala kampung, atau proses mengeringkan ikan. Konten macam ini bukan cuma bermanfaat, tapi juga jadi arsip digital kearifan lokal.

Tulisan ini sama sekali bukan dibuat untuk merendahkan atau mengejek. Justru sebaliknya, ini lahir dari rasa sayang. Karena emak-emak adalah salah satu motor sosial yang menjaga kehidupan kampung tetap hidup. Mereka inilah yang mengisi linimasa dengan warna, dengan drama, dengan gelak tawa, sekaligus dengan kehangatan. Tanpa mereka, Facebook di kampung hanya akan jadi halaman sepi penuh akun pasif.


Rasa sayang ini juga datang dari kesadaran logis: emak-emak adalah penggerak sosial yang paling konsisten. Dari mereka kita belajar soal solidaritas, soal keberanian bersuara, sampai soal bagaimana teknologi bisa dipakai untuk hal-hal paling sederhana.


Kritik yang muncul dalam tulisan ini bukan untuk membungkam, melainkan ajakan agar ruang digital yang mereka cintai bisa lebih bermanfaat. Kalau curhat, biarlah curhat yang menyembuhkan. Kalau jualan, biarlah jualan yang benar-benar membantu. Kalau berbagi video, biarlah ada sedikit unsur belajar di dalamnya.


Pada akhirnya, fenomena FB Pro emak-emak adalah potret sosial kampung modern: absurd, lucu, kadang bikin sakit kepala, tapi juga menunjukkan betapa kuatnya ikatan yang tumbuh di era digital. Dan perlu ditegaskan, semua ini hanyalah opini pribadi, semata berdasarkan apa yang saya lihat di Facebook. Jadi kalau ada yang merasa tersindir, mungkin memang sering muncul di beranda saya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Operasi Plastik: Dari Tradisi Kuno Hingga Bedah Estetika Modern